Cerita First Responder Network Maluku Tangani Duyung Terdampar di Desa Waitatiri

Pagi itu (2/10), Alfin Theo, seorang anak kecil dari Desa Waitatiri, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah menemukan seekor mamalia laut terdampar di belakang rumahnya. Alfin pun segera memberitahu ayahnya – Soni Theo, tentang mamalia terdampar yang dia kira anjing laut. Namun, setelah Soni mengecek langsung, barulah mereka tahu bahwa hewan yang mati terdampar itu adalah duyung (Dugong dugon). Duyung merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, serta termasuk ke dalam Apendiks I CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Yang berarti duyung merupakan satwa yang dilindungi penuh dan tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.

Soni mengambil beberapa dokumentasi dan mengunggahnya di sosial media, dikarenakan dia tidak tahu harus melakukan tindakan apa terhadap bangkai duyung tersebut. Masyarakat sekitar bergantian melihat bangkai duyung di belakang rumahnya Soni. Sekitar pukul 16.00 WIT, barulah salah satu masyarakat sekitar – Raymond, memberikan saran untuk melaporkan temuan tersebut ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku dan Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong Satuan Kerja Ambon.

Menindaklanjuti informasi tersebut, Loka PSPL Sorong melakukan koordinasi lebih lanjut bersama lembaga lainnya, seperti BKIPM Waiheru Ambon, Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Ambon, WWF-Indonesia, BKSDA Provinsi Maluku dan First Responder Network Maluku.

First Responder Network merupakan jejaring informan yang dibentuk oleh dukungan WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA). Jejaring informan ini beranggotakan dari masyarakat perwakilan desa di Provinsi Maluku yang terbentuk pada bulan Mei lalu.

Pada pukul 18.00 WIT, Ratna, masyarakat lokal dan salah satu anggota First Responder Network datang ke lokasi untuk membantu penanganan duyung terdampar tersebut. “Saat saya sampai di lokasi, masyarakat memberi tahu saya bahwa ada sesuatu yang keluar dari perut duyungnya, seperti plasenta. Ternyata pas saya cek, plasentanya sudah pecah dan bayinya sudah keluar. Sayangnya bayi duyung itu juga sudah mati” jelas Ratna.

Ratna mengambil tindakan untuk mengamankan bangkai duyung tersebut agar tidak hanyut maupun disalahgunakan oleh masyarakat sekitar. Namun, dia mengalami kesulitan pada saat proses evakuasi dikarenakan sudah mulai gelap. Lalu, Ratna memberikan penjelasan, jika bangkai duyung sudah membusuk dapat mengeluarkan bau tidak sedap dan berpotensi menyebarkan bakteri dari pembusukan tersebut.

Rangkaian kejadian ini berakhir pada malam hari ketika tim gabungan yang terdiri dari Loka PSPL Sorong Satker Ambon, Stasiun PSDKP Ambon, BKIPM Waiheru Ambon, BKSDA Provinsi Maluku dan First Responder Maluku) melakukan pengambilan sampel dan pengukuran morfometri. Morfometri merupakan peneraan pengukuran morfologi yang meliputi ukuran panjang dan berat. Setelah melakukan negosiasi, malam itu juga, tim serta masyarakat sepakat untuk menguburkan duyung dan anaknya di tempat yang lebih tinggi dekat pemukiman.

Ada 5 Kode dalam Kejadian Mamalia Terdampar, Apa Saja?

Terdapat 5 kode dalam penanganan mamalia laut terdampar; (1) terdampar hidup, (2) terdampar, baru mati, (3) mulai membusuk, (4) pembusukan tingkat lanjut, dan (5) kerangka atau mumi. Sebelum melalukan tindakan mamalia laut perlu diidentifikasi kondisinya. Apakah mamalia laut itu masih bergerak, merespon dan bernafas. Jika hewan sudah tidak bernafas atau mati lanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi bangkai, apakah mamalia laut tersebut baru mati atau sudah membusuk. Setelah mengetahui kondisinya, baru tim bisa menentukan tindakan apa yang perlu dilakukan.

Dalam kejadian ini, untuk mengevakuasi duyung yang sudah mati dapat langsung dibakar namun kerangka ikut hancur, dikubur jauh dari area pasang surut sehingga kerangka bisa diambil beberapa bulan kemudian atau ditenggelamkan di tengah laut dengan memberikan pemberat dan mengkempiskan perut lalu kerangka bisa diambil setelah beberapa bulan. Kerangka tersebut dapat berfungsi untuk dijadikan pameran dalam museum, tentunya atas izin BPSPL setempat.

Menurut Ratna, sebagai salah satu anggota dari First Responder Network, sangat penting untuk memberikan pemahaman ke masyarakat di desa-desa tentang penanganan mamalia terdampar serta kontak-kontak yang dapat mereka hubungi seperti LPSPL Ambon, DKP Provinsi maupun tim First Responder jika ada kejadian mamalia laut terdampar di desanya.

Artikel Asli>>

%d blogger menyukai ini: