Pelaksanaan FCP oleh APP Masih Belum Memadai

Pembukaan lahan gambut dan hutan alam oleh pemasok APP, PT Ruas Utama Jaya 8 Juni 2011


5 Februari 2018 – menandai peringatan 5 tahun Asia Pulp and Paper (APP) menyatakan komitmen Forest Conservation Policy (FCP), kelompok-kelompok masyarakat sipil yang logonya ditampilkan bersama pernyataan ini menyampaikan pernyataan bersama bahwasanya APP belum berada pada jalur yang tepat dan kemajuan pelaksanaan komitmen tersebut belum memadai.

1.    Ketidakcukupan pasokan dari hutan tanaman dan keterlibatan dalam deforestasi

Walau FCP menegaskan berhentinya perusahaan menggunakan kayu dari hutan alam, akan tetapi Sinar Mas Group (SMG) atau APP justru menggalang pendanaan dan mengurus perizinan untuk membangun pabrik bubur kertas baru yang potensial meningkatkan konsumsi kayu sebesar 84%. Hutan tanaman milik APP belum pernah memproduksi kayu sebanyak itu, dan perhitungan kelompok masyarakat sipil menunjukkan bahwa konsesi-konsesi tersebut takkan mampu memenuhinya, kecuali bila tanpa prinsip-prinsip kelestarian. Bila pasokan kayu tersendat, dikhawatirkan APP akan kembali menghabiskan hutan alam, dan memperparah dampak lingkungan dan sosial.

Padahal, selama 5 tahun terakhir, SMG/APP terus kehilangan area konservasinya karena deforestasi oleh pihak ketiga.  Bahkan, liputan Associated Press dan Straits Times mengungkap bahwa HTI PT. Muara Sungai Landak (MSL), yang setidaknya sejak 2014 melakukan pembabatan hutan alam dan membuka lahan gambut di Kalimantan Barat, ternyata terhubung dengan Sinar Mas Forestry, meski APP menyangkal keterhubungan tersebut.  

2.    Kelambanan resolusi konflik terhadap masyarakat

APP menyatakan telah menyelesaikan lebih dari 42 persen konflik dengan masyarakat.  Namun, tidak disampaikan ke publik berapa jumlah seluruh konflik, berapa banyak yang telah diselesaikan, dan bagaimana penyelesaiannya. Padahal, informasi-informasi tersebut telah berulang kali diminta oleh kelompok masyarakat sipil ke APP. Mengacu pada pengalaman kelompok-kelompok yang selama ini mendampingi masyarakat yang terkena dampak kehadiran APP di Riau, Jambi dan Sumatra Selatan, hanya sedikit dari ratusan konflik tersebut yang telah selesai. Pada kasus-kasus yang telah mencapai kesepakatan, masih saja terdapat ganjalan mengenai kualitas dan pelaksanaan kesepatan tersebut.

Tak hanya itu, banyak komunitas yang selama ini kehilangan lahan, hutan, dan sumber pencaharian karena beroperasinya APP bahkan tak mengetahui adanya komitmen perusahaan yang menyatakan mengakui hak mereka dan menyelesaikan keluhan-keluhan masyarakat.

3.    Kelambanan restorasi dan pertukaran konsesi dalam gambut terdegradasi dengan tanah mineral yang potensial mengganggu hutan alam dan wilayah kelola masyarakat

Satu tahun setelah deklarasi FCP, pada 2014 APP menyatakan komitmen merestorasi 1 juta hektar ekosistem di Indonesia – lagi-lagi, tanpa disertai rencana yang jelas dan tolok ukur kemajuan pelaksanaannya. Pemasok kayu APP telah menyebabkan kerusakan besar di banyak daerah prioritas pemulihan gambut yang dicanangkan pemerintah Indonesia, sehingga pembangunan hutan tanaman dengan cara pengeringan gambut harus dihentikan, dan segera memulihkannya.  Tapi, APP tidak memiliki rencana kelola gambut secara berkelanjutan, baik untuk aktivitas ekonomi tanpa pengeringan lahan gambut  ataupun pemulihannya dengan vegetasi alami, demi mengendalikan kontribusi APP terhadap perubahan iklim dan menghentikan penurunan permukaan lahan gambut yang dapat menyebabkan banjir. 

Opsi pertukaran lahan (land swap) sebagai kompensasi pada tanah mineral yang disediakan pemerintah kepada perusahaan ini berpotensi meningkatkan deforestasi atau konflik dengan masyarakat. APP saat ini telah menguasai setidaknya 2,6 juta hektar lahan di Indonesia, tapi mekanisme ini membuka ruang pertambahan ratusan ribu hektar dalam kendalinya yang diperolah tanpa melalui proses transparan atau pantauan public apakah area tersebut berupa hutan alam ataukah telah dikelola oleh masyarakat.  

4.    Tidak akurat menginformasikan hubungannya dengan pemasok kayu dan kurang transparan mengenai hal-hal kunci pelaksanaan FCP

Sebelum dan sesudah pengumuman FCP pada 2013, APP tidak menyampaikan informasi utuh ke parapihak mengenai hubungannya dengan 27 perusahaan pemasoknya dan menyebut mereka sebagai “independen”, dengan menyembunyikan hubungannya setidaknya dengan 25 perusahaan diantaranya.  Saat bencana kebakaran 2015, APP memakai klaim “independen” tersebut untuk berkelit dari tanggung jawab atas kebakarang besar yang terjadi di areal konsesi di sekitar pabrik barunya (OKI Mill).  Selain terhadap PT. Muara Sungai Landak sebagaimana disebut di atas, Associated Press dan Sraits Times pun melaporkan perihal SMG/APP yang menyembunyikan hubungannya sejak 2013 dengan PT. Bangun Rimba Sejahtera di Bangka Belitung. 

Bahkan, sejak pengumuman FCP APP pun telah mengelabui parapihak mengenai informasi penting terkait pelaksanaan  FCP, seperti kapasitas sesungguhnya OKI Mill, dan pada kenyataannya membangun pabrik berkapasitas jauh lebih besar tanpa bukti meyakinkan akan adanya pasokan yang memadai secara berkelanjutan.  Perilaku APP yang seperti ini sungguh memperbesar jurang kepercayaan dengan kelompok masyarakat sipil, termasuk yang telah bekerjasama dengan APP dalam pelaksanaan FCP tersebut.

5.    Minim pemantauan independen

Sejak diluncurkan, tidak ada verifikasi independen terhadap kemajuan pelaksanaan FCP.  Namun begitu, APP justru terus menerus menyampaikan klaim sepihak kemajuan-tanpa-verifikasi tersebut melalui kampanye pemasarannya. Meski kelompok masyarakat sipil meyakini bahwa sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) merupakan cara terbaik mendapatkan verifikasi independen dan obyektif perihal kinerja lingkungan, sosial, dan tatakelola perusahaan , namun perangkat ini tidak dapat dipakai saat ini, baik terhadap SMG/APP, afiliasinya maupun mitra-mitra pemasoknya, karena FSC memutus hubungan (disassociation) dengan APP pada tahun 2007 sehubungan dengan kerusakan hutan besar-besaran yang disebabkan perusahaan ini, yang menempatkannya menjadi perusahaan pertama dari sejumlah kecil perusahaan yang di-disassosiasi oleh FSC.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, kelompok masyarakat sipil merekomendasikan APP agar:

1.    Membuka data mengenai produksi bubur kertas dan pasokan kayunya kepada audit independen dan melibatkan setidaknya kelompok masyarakat sipil yang menyampaikan pernyataan ini sebagai pemantau (observer) pada saat pelaksanaan audit.  

2.    Membuka data rinci mengenai konflik lahan yang terdapat di seluruh konsesi APP dan perusahaan pemasoknya, termasuk data jumlah konflik, berapa banyak yang telah diselesaikan, standar dan proses yang digunakan untuk menyelesaikan masing-masing konflik tersebut, serta menyelesaikan semua konflik yang ada dengan tatawaktu yang disepakati bersama dengan masyarakat korban dan terdampak.

3.    Menyampaikan secara terbuka area-area potensial untuk pertukaran lahan (land swap) hingga peninjauan pasokan kayu sebagaimana diamanatkan FCP dan melibatkan melibatkan setidaknya kelompok masyarakat sipil yang menyampaikan pernyataan ini sebagai pemantau (observer) peninjauan tersebut.

4.    Menyampaikan secara terbuka rencana rinci perihal meninggalkan (phasing-out) pengeringan gambut di konsesinya, melaksanakan rencana tersebut sebagai pertanggungjawaban restorasi terhadap gambut yang telah dirusak selama ini, bahkan bila pun telah beroleh area tukar (swapped for new areas).

5.    Menyampaikan secara terbuka keterhubungan apapun yang ada antara APP, Sinar Mas, dan siapapun staf atau pengurus perusahaan dengan konsesi kehutanan lainnya di Indonesia guna membuka jejak lingkungan dan sosialnya.

6.    Menyetujui penerapan roadmap pengakhiran keterputusan (disassociation) dengan FSC yang dibangun oleh FSC dengan dukungan dan masukan kelompok masyarakat sipil, termasuk yang menyampaikan pernyataan bersama ini.

Artikel Asli>>

%d blogger menyukai ini: